Introvert.
Kepribadian yang semakin dewasa, makin melekat pada diriku. Bahkan setelah menikah, keadaanku semakin parah. Kepribadianku ini melebihi dari seorang introvert. Aku jadi semakin tertutup. Satu-satunya orang yang selalu bisa aku percaya dan bisa membuatku menjadi diriku sendiri ketika bersamanya selain keluargaku ialah hanya Suamiku. Kehadirannya dihidupku membuatku merasa tenang, nyaman, dan tak mau jauh darinya walaupun sebentar saja.
Setelah menikah, kami putuskan untuk tinggal berdua di salah satu kontrakan yang jaraknya dekat dengan tempat tinggal mertuaku, hanya berjarak 20 rumah perkiraanku. Alih-alih ingin hidup mandiri dengan tidak tinggal bersama orang tua dan juga mertua, namun malah membuatku jadi semakin tidak memiliki siapa-siapa di lingkungan baru ini kecuali hanya suamiku. Sampai saat ini, setelah menjalani pernikahan 6 bulan dengannya, aku masih belum bisa dekat dengan mertua dan keluarga suamiku. Berat rasanya hidup seperti ini, memaksakan untuk menjadi lebih terbuka dengan orang lain rasanya sangat membuatku tertekan, seperti ada satu beban yang sulit dikeluarkan. Mereka tidak ada yang jahat sama sekali, atau bahkan memperlakukanku tidak baik, aku yakin semua keluarganya menyayangiku. Namun, aku bahkan tak mengerti sampai saat ini masih belum bisa sedekat itu dengan mereka.
Pada satu waktu, aku masih ingat kala itu aku menangis dan meringik pada suamiku. Ada banyak sekali uneg-uneg dan semua beban pikiran yang ingin ku tumpahkan saat itu juga pada suamiku, tapi rasanya itu semua sulit. Aku hanya bisa menangis sesegukan dalam pelukannya. Sampai aku memohon padanya agar bisa membawaku ke psikolog untuk memperbaiki ini semua, namun suamiku tidak sampai hati untuk mengizinkanku. Ia menasehatiku dengan cara lembutnya, agar aku hanya perlu memohon pada Allah SWT atas apa yang sedang dirasakan saat ini, untuk dikuatkan hati agar bisa melewatinya dengan hati yang lapang dan juga ikhlas. Dia memang suamiku yang pengertian, dan membuatku sedikit lebih tenang. Tak lama dari situ, aku bangkit dan sholat mematuhi perintahnya untuk berdo'a pada pemilik alam semesta ini agar selalu diberikan kekuatan untuk menjalani ini semua.
Berbicara soal luka di masa kecil, aku jadi teringat dulu bahkan sebelum aku memasuki sekolah dasar. Saat itu umurku belum cukup untuk masuk SD. Aku tidak menjalani sekolah kanak-kanak atau TK seperti teman-temanku yang lain. Sosialisasi pertamaku yaitu di lingkungan pengajian dekat rumahku. Kala itu teman-temanku berasal dari anak-anak satu wilayah RT setempat, ada banyak laki-laki dan perempuan berkumpul disana, lalu kami saling berkenalan. Salah satu teman perempuan yang dekat dengan ku kala itu hanya sodara ku, Lena namanya. Kemana-mana dari mulai teman sepermainan, pengajian, pasti selalu dengannya. Dia anaknya ceria, pintar, dan juga mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Namun aku berbeda, bahkan aku sangat bertolak belakang dengan sifat dan juga karakternya. Sampai terkadang aku memcemburui situasi ini, ketika orang-orang sangat mengagumi dia karena karakternya, sedangkan padaku, mereka bahkan seperti tidak menganggapku ada disana karena diamnya aku membuat mereka tak berani untuk mengobrol atau bahkan dekat denganku. Sedih rasanya, aku semakin malu untuk memulainya. Terlebih, dulu kemampuan menghapal Al-Quran ku tertinggal dari yang lainnya. Jadi membuatku merasa insecure sekali, kalo kata bahasa anak jaman now.
Memasuki Sekolah Dasar aku kira sifatku bisa berubah, tapi nyatanya sama saja. Seperti yang kita tahu, dalam satu kelas pasti ada yang namanya geng/kelompok. Aku termasuk kedalam kelompok anak-anak yang bisa dibilang menengah. Dikelasku terbagi kedalam 3 kelompok, ada geng yang terdiri dari anak pintar kesayangan para guru, lalu ada geng menengah yang tidak terlalu disorot, dan ada juga geng yang terkenal karna nakal dan kurang dibidang akademisnya. Dulu anak-anak SD tuh sering banget ngebully satu sama lain dengan memanggil nama orangtua. Itu hal yang paling menyebalkan menurutku. Pernah satu waktu, memasuki kelas 4 SD. Aku bertengkar dengan salah satu temanku, bahasa sundanya itu "gelut" yang mana pertengkaran itu saling menyakiti fisik. Awalnya gara-gara dia menghina fisikku yang pendek dan juga menghina pekerjaan orang tuaku, lalu aku marah dan membalasnya dengan menyebut bahwa pekerjaan dari orangtuanya adalah seorang "bondon" alias pelacur. Kasar memang, tapi itu bentuk berontaku yang selama ini diam ketika diejek. Aku kesal, lalu dia naik pitam dengan menjambak rambutku. Aku tidak tinggal diam, aku membalasnya balik. Teman-teman yang lain bukannya melerai pertengkaran kami, mereka malah membuat kubu antara yang membelaku dengan yang membelanya. Kebetulan kelas sedang tidak ada guru, sampai ada teman dekatku yang tidak tega melihatku diperlakukan seperti itu, namun tak bisa meleraiku. Hingga akhirnya, mereka (Anggi, Devi, Sinta) pergi kerumahku yang jaraknya sangat dekat dengan sekolahku untuk melaporkan hal ini ke Mamahku, sontak Ibuku datang ke kelas dan khawatir akan keadaanku dan memberhentikan pertengkaran kami. Kejadian itu sampai terdengar ke ruang guru, lalu aku dipanggil dengan temanku itu. Aku dituduh mengadu pada orangtuaku, sementara yang melakukan itu bukan aku melainkan sahabat-sahabatku. Aku kesal, kenapa para guru tak ada yang berpihak padaku saat itu.
Hal yang paling sangat membosankan semasa SD untukku ialah pelajaran olahraga. Aku merasa sangat tertinggal dipelajaran itu, hingga membuatku jadi sangat membencinya. Setiap ada pertandingan apapun, pasti timku kalah karena ulahku. Aku jadi sasaran tim lawan karena mereka menganggap aku paling lemah dan sangat mudah untuk dikalahkan.
Memasuki SMP, kurasa masih belum ada perubahan. Aku menjadi lebih pendiam. Namun, puji syukur kepada Allah SWT nilai akademisku meningkat. Di Kelas 7, diantara yang lainnya aku adalah anak perempuan yang memakai hijab, waktu itu yang berkerudung masih terbilang minoritas. Aku merasa jadi kaum yang tidak sefrekuensi dengan teman-teman lainnya. Rasanya sangat terintimidasi sekali. Aku dikenal sebagai siswi yang berimage baik, tak ada yang berani mengusiliku. Hanya saja aku tampaknya tak memiliki teman karena sifat pendiamku ini. Aku duduk di meja paling depan dekat papan tulis, barisan kedua dari meja guru. Sendiri, benar-benar duduk sendiri. Tak ada yang mengajakku mengobrol, aku bingung harus melakukan apa. Lama kelamaan, teman di belakangku usil. Namanya Nefhia, dia merupakan wanita berhijab namun sangatlah ekstrovert. Dia selalu membulyku, aku selalu disakiti olehnya. Dia caper ke semua teman dan guru-guru. Lama kelamaan sifatnya mulai menampakkan aslinya. Dia membuka hijab yang selama ini dia pakai. Lalu temen-teman yang satu geng dengannya juga jadi risih akan sifatnya, lambat laun mereka pun mulai membicarakannya di belakang. Aku hanya jadi penonton yang tak mau ikut campur urusan mereka, namun aku sekaligus jadi saksi akan semua yang mereka lakukan.
Meningkat ke kelas 8, teman-temanku sekelasku berganti. Karena waktu zaman SMP memang ketika kita naik kelas, satu kelas diacak kembali, mungkin agar satu sekolah menjadi saling mengenal luas jangkauan pertemanannya. Aku mulai agak sedikit nyaman dibandingkan dengan teman-teman kelas 7. Entah kenapa sifat pendiamku mulai memudar, dan teman-temannya juga kebanyakannya asyik sih. Aku tak terlalu menderita ketika di kelas 8. Namun, penderitaanku kembali terjadi ketika kelas 9 yang mana disatu kelaskan kembali dengan anak-anak kelas 7. Aku jadi kembali ke setelan awal. Aku banyak diamnya. Masa-masa SMP masa tersuram menurutku.
Memulai kehidupan baru ketika memasuki SMK, aku dihadapkan dengan lingkungan dan suasana baru. Teman-teman nya pun merupakan anak remaja yang menginjak dewasa. Pola pikirnya pun mulai menuju matang. Tak seperti dilingkungan SMP ku dulu. Kebetulan aku memasuki sekolah yang di dominasi oleh kaum wanita. Karena, aku masuk ke sekolah kejuruan yang mana diminati kebanyakan oleh para perempuan. Sebut saja nama sekolahnya SMK Negeri 3 Bandung. Disana persainganku semakin berat, karena basicly mereka kebanyakan berasal dari SMP Negeri yang bisa dibilang anak-anak yang memiliki nilai akademis tinggi kebanyakannya. Mayoritas dalam satu kelas menggunakan hijab, bisa di hitung oleh jari yang tidak memakainya. Dari kelas 10 sampai 12, teman-temannya itu saja, tak seperti di SMP yang setiap kenaikan kelas ada pergantian. Aku satu kelompok dengan anak-anak yang bisa dibilang gak neko-neko, kebanyakannya ukhti alias wanita-wanita alim. Aku pun satu bangku dengan teman yang selalu rangking 1 terus dikelas. Rasanya senang sekaligus sedih sih, senangnya dia bisa mengajariku pelajaran yang tidak aku mengerti, tapi sedihnya selama satu bangku dengannya, itu tak membuatku masuk dalam peringkat 5 besar dikelas, hahaha. Jika diluar waktu sekolah, kami sering kerja kelompok dirumah teman bergantian. Meskipun jauh dari daerahku, tapi mau tak mau kami harus mendatangi rumah temanku yang disepakati sebagai rumah yang dijadikan basecamp atau titik kumpul untuk mengerjakan tugas kelompok. Namun begitu, kami sangat enjoyed dengan itu semua. Setiap sehabis dibagi raport, pasti saja kami selalu menjadwalkan main ke mall untuk sekedar photo studio di Jonas Citylink. Sudah seperti budaya yang wajib dilakukan setiap semesternya kala itu.